Pengikut

Zero world

Senin, 04 Oktober 2010

Ketakutan

Hatiku terus bergetar
Jam pasir pun mulai berputar
Seolah-olah, kini, kematian akan menghampiriku
Tanpa hasil dan tanpa pilihan

Ketakutan pun semakin besar
kebimbangan membuatku semakin merasakannya
hawa-hawa pintu neraka yang akan membakar kulitku
dan membuat tubuh-tubuh cantik dan tampan berubah menjadi abu

api ketakutan mulai membakar hatiku
hingga aku tak mampu berdiri
menyongsong masa depan yang tertutup
oleh ksatria berkuda hitam berarit biru

Ospek : Patut Diadakan atau Dihilangkan?

Apakah anda pernah mendengar kata ospek? Ya. Kata yang kini telah menjadi kata “tabu” dalam dunia pendidikan adalah kata yang sempat menjadi sebuah wacana hingga saat ini. Kini, banyak orang menganggap bahwa keberadaan ospek adalah media perpeloncoan dan bullying senior kepada junior. Isu dan wacana ini, guna, fungsi, dan keberadaan ospek dalam dunia pendidikan, mulai naik ke permukaan setelah kemunculan video-video pelaksaan ospek dengan kekerasan fisik bahkan hingga beberapa orang meninggal akibat tindakan ospek. Permasalahan ini menyebabkan beberapa orangtua khawatir (baca: takut) terhadap keselamatan anak mereka ketika mendengar bahwa di institusi pendidikan tempat mereka menitipkan anak mereka mengadakan ospek. Hal tersebut mengakibatkan beberapa institusi pendidikan “menghilangkan” keberadaan ospek sebagai jaminan institusi pendidikan tersebut terhadap keselamatan civitas academica angkatan muda mereka.

Penutupan, pelarangan, dan penghilangan kegiatan ospek dalam dunia pendidikan ini merupakan keputusan layaknya pedang bermata dua bagi pendidikan di Indonesia. Mengapa saya berani berkata bagaikan pedang bermata dua? Saya, secara pribadi, menangkap beberapa tujuan penghapusan ospek dalam dunia pendidikan adalah untuk mencegah jatuhnya korban dalam pelaksanaan ospek, menjaga nama baik institusi pendidikan di mata masyarakat, dan menghindari permasalahan yang mencoreng nama pendidikan bangsa. Kalau kita berbicara mengenai dampak keselamatan terhadap jiwa seseorang, saya sangat setuju penghilangan suatu kegiatan jika memang membahayakan nyawa seseorang. Permasalahannya adalah dampak jangka panjang yang tanpa disadari akan muncul di masa yang akan datang jika ospek tidak muncul.

Sebelum berbicara langsung pada poin-poin yang akan saya utarakan, marilah kita lihat sebuah alasan yang menjadi kekhawatiran setiap orangtua ketika mendengar kata ospek dan pembelaan setiap orang yang tidak menyukai ospek, yaitu bullying. Apa itu bullying? Bullying berasal dari kata bully. Dalam kamus Oxford Learners Pocket Dictionary, bully adalah frighten or hurt a weaker person, use your strength or power to make somebody do something (Oxford, 2000 : 51). Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, arti kata bully adalah menakuti atau menyakiti orang yang lebih lemah dengan menggunakan kekuatan tertentu untuk membuat seseorang melakukan sesuatu. Kata kunci yang patut kita garis bawah adalah menakuti, menyakiti, orang lebih lemah, kekuatan, dan melakukan sesuatu. Marilah kita kaji dan melihat definisi kata-kata yang digarisbawahi tersebut. Kata Menakuti atau menyakiti adalah bagian dari perasaan atau emosi yang dimiliki oleh seseorang. Kata menakuti mempunyai makna yaitu menyegani; menaruh hormat kepada seseorang atau menimbulkan rasa takut kepada seseorang (KBBI,2007 : 1125). Kata kedua adalah kata menyakiti mempunyai makna menyebabkan sakit atau berasa sakit (KBBI,2007 : 980). Ketiga kata berikutnya adalah kata yang saling berkaitan yaitu orang lebih lemah, kekuatan, dan melakukan sesuatu. Kata orang lebih lemah diasumsikan sebagai seseorang yang tidak mempunyai kekuatan, yaitu sebuah kuasa terhadap suatu hal (KBBI,2007 : 604). Orang yang lebih lemah ini “terpaksa” mengikuti orang yang lebih kuat karena orang kuat tersebut mempunyai sesuatu yang disebut dengan kuasa.

Lalu, apa hubungan ospek dengan definisi bullying? Mengapa harus melihat definisi kata bullying bahkan hingga meneliti lebih lanjut tentang kata yang digarisbawahi? Patut kita ingat kembali, kata ospek merupakan kependekan dari kata orientasi pengenalan kampus. Orientasi bermakna peninjauan untuk menentukan sifat yang tepat dan benar atau pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan (KBBI,2007 : 803). Jika kita melihat makna kata orientasi, kita dapat melihat tujuan pelaksanaan ospek. Tujuan pelaksanaan ospek adalah sebagai media penanaman dasar pemikiran, pembentukan perilaku, memberikan paparan, dan mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan secara benar. Bila secara makna dan tujuan adalah untuk pendidikan, maka keberadaan ospek adalah sebagai media pengajaran kepada seseorang dan mempunyai tujuan mulia dan menjunjung tinggi pendidikan. Selain itu, perlu digarisbawahi lagi bahwa objek dalam pelaksanaan ospek adalah kampus, berarti pelaksana ospek adalah para civitas academica suatu universitas atau perguruan tinggi yang bermaksud memberikan orientasi terhadap kampus pelaksana ospek. Para civitas yang melaksanakan ospek tersebut lebih dikenal dengan istilah senior. Para senior-senior ini merupakan orang-orang yang ditunjuk untuk mengaderiaderisasi para junior sehingga tongkat kepemimpinan, dasar pemikiran, dan kebijakan yang dilakukan oleh para junior tersebut tidak salah langkah dan mempunyai dasar keyakinan kuat yang berdasar dengan falsafah kampus mereka. Mereka, para senior, mempunyai hak layaknya para pengajar karena mereka adalah orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk menjaga nama baik para senior, junior, alumni, dan kampus mereka di masyarakat.

Upaya penanaman orientasi suatu kampus terhadap seseorang pun tentu tidaklah mudah. Patut disadari, peserta ospek umumnya lebih banyak dibandingkan pengospek. Peserta ospek pun mempunyai latar belakang, pola pikir, dan keyakinan masing-masing. Pelaksanaan ospek pun menjadi tidak mudah layaknya membalikkan tangan. Beberapa peserta ospek berkemungkinan tidak menyukai orientasi yang diberikan oleh kampus bersangkutan. Hal tersebut menyebabkan gesekan-gesekan yang akhirnya memunculkan konflik ketika pelaksanaan ospek. Oleh karena itu, panitia ospek memberikan hukuman kepada peserta ospek yang tidak disiplin atau memenuhi ketentuan dalam pelaksanaan ospek. Hal ini bersinggungan dengan salah satu teori pendidikan yaitu teori behaviorisme. Salah satu metode pelaksanaan teori ini adalah dengan metode reward and punishment. Metode reward and punishment adalah metode yang memberikan hukuman kepada seseorang yang melanggar suatu peraturan agar orang yang melanggar jera dan tidak mengulangi tindakan yang dia langgar sementara orang yang mematuhi peraturan mendapatkan penghargaan sebagai apresiasi atas tindakannya yang tidak bersifat melawan aturan yang berlaku.

Kemudian muncul lagi sebuah pertanyaan, jika kita telah mengetahui esensi ospek, landasan pelaksanaan ospek, dan kaitan ospek dengan pendidikan, apa alasan kegiatan ospek harus dengan kekerasan? Patut kita ketahui, pemberian hukuman kepada pelanggar aturan tentu berbeda berdasarkan kesalahan yang mereka, peserta ospek, lakukan sewaktu pelaksanaan ospek. Ketika melaksanakan ospek, panitia ospek wajib mengerti prinsip, landasan pemikiran, falsafah kampus tempat mereka belajar, dan ketentuan pelaksanaan ospek seperti ketentuan pelanggaran, ketentuan pemberian hukuman, dan batasan tindakan suatu panitia kepada peserta ospek. Hukuman dan penekanan pada peserta ospke lebih dikenal dengan istilah tensi. Setiap kampus mempunyai kebijakan masing-masing dalam menentukan tensi. Sepengatahuan saya, tensi terbagi menjadi enam yaitu tensi nol (panitia memperhatikan seluruh peserta sebagai tugasnya menjaga keamanan acara), tensi satu (panitia memperhatikan dengan serius peserta yang mulai membuat kegaduhan sebagai metode penekanan), tensi dua (panitia menegur dengan sopan peserta), tensi tiga (panitia menegur dengan nada yang lebih keras kepada peserta), tensi empat (panitia memberi hukuman fisik ringan, seperti push-up, sit-up, dan bending, kepada peserta karena pelanggaran yang dilakukan berat) dan terakhir adalah tensi lima (panitia memberi hukuman fisik berat, seperti pemukulan, penendangan, dan tindakan kasar lain, kepada peserta karena pelanggaran yang dilakukan tidak dapat ditolerir dalam pelaksanaan ospek). Pelaksanaan dan bentuk enam tensi tersebut dapat berbeda-beda di setiap kampus. Dahulu, penerapan system tensi pada setiap kampus hanya sampai tingkat tensi empat. Penerapan system tensi yang menggunakan enam system tensi (nol hingga lima) umumnya diterapkan dalam perguruan tinggi yang bersifat militer karena mereka, perguruan tinggi militer, menjunjung tinggi kedisiplinan. Penerapan system tensi hingga tensi lima pun di bawah pengawasan tim pengawas dan mendapat pelatihan khusus sebelum pelaksanaan sehingga tidak ada korban berjatuhan dalam pelaksanaan ospek. Oleh karena itu, panitia harus memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan dan keadaan peserta ospek sehingga ospek dapat berjalan dengan baik dan mereka, para peserta yang mendapat hukuman, juga mendapatkan esensi dari kegiatan ospek tersebut.

Apabila kita berusaha untuk menarik sebuah jawaban (baca: dampak) terhadap hilangnya ospek, maka hilangnya ospek akan menjadi sebuah bumerang terhadap citra kampus, terutama kampus-kampus yang telah mempunyai nama dan citra baik di masyarakat. Mereka, kampus, akan kehilangan para penerus dan kader-kader yang seharusnya tetap menjaga nama baik kampus. Pada akhirnya, ketika pandangan masyarakat terhadap kampus yang telah mempunyai nama baik tersebut turun, masyarakat akan lebih melihat kepada kampus yang mempunyai nama baik pada zamannya dan meninggalkan kampus yang “dulu” mempunyai nama baik.

Sebagai sebuah penutup, saya, sebagai orang awam, merasa bahwa penghapusan atau penghilangan sistem ospek di kampus adalah keputusan berbahaya layaknya pedang bermata dua. Penghilangan ospek dapat memberikan dampak yang tidak hanya jangka pendek, tapi sebuah jangka panjang terhadap generasi suatu kampus. Pemahaman terhadap ospek yang sudah bergeser kepada bullying pun harus diarahkan kembali ke makna aslinya. Saran dari saya adalah dibentuknya panitia pengawas atau panitia disiplin yang menjadi tim pendisiplin panitia ketika panitia memberikan hukuman yang tidak sesuai dengan keadaan kampus atau kampus memberikan bantuan pelatihan pada panitia sehingga kemungkinan kesalahan dalam pelaksanaan dapat diperkecil. Kampus dan mahasiswa harus bekerja sama, bukan saling mendominasi, dalam pelaksanaan acara ospek. Selain itu, pihak kampus juga harus menyadari dan mengetahui kebenaran yang terjadi saat pelaksanaan. Laporan-laporan berkaitan dengan bullying harus diperiksa secara baik-baik dan bukan hanya mendengar keluhan dari orangtua, tapi juga melihat dari sisi mahasiswa apakah sang peserta pantas dihukum dengan hukuman sesuai atau tidak. Patut digarisbawahi kembali, ospek adalah media pengajaran dan penanaman, bukan bullying atau penggojlokan.

(UntitleD)

:sebuah kebingungan



senja perlahan berubah menjadi malam

detik demi detik suara tersebut semakin sayup-sayup

hingga akhirnya tak terdengar

bahkan anjing pun tak berani melolong

di waktu malam



suasana semakin mencekam

kabut tipis menemani langkah ini

cahaya malam pun sontak menghilang

karena putusnya urat-urat getaran malam

dekat sungai kematian



penderitaan...

Sayang, Jemput Aku

Sayangku, terima kasih kau telah datang

kau jemput diriku dengan senyuman

parasmu yang cantik tak pernah membuatku jemu

untuk bersamamu dan menggandengmu



detik demi detik terus berlalu

tak terasa, kau telah pergi jauh terlebih dahulu

tak terasa pula, beribu hari telah berlalu

sejak terakhir kita bertemu di kampus biru



kini, kau datang menjemputku

genggaml...

Kamis, 04 Februari 2010

manusia dan kereta kuda

Oke kawan-kawan sekalian. Setelah lama saya bergalau-ria dan mencari jalan "kebenaran", saya ingin memberikan sedikit wawasan yang saya dapatkan dari berbagai macam orang, entah sahabat, saudara, dan orangtua. Penulis menyarankan untuk bersabar, jangan membanting modem, jangan memberikan makanan pada hewan selain di tempat yang disediakan dan jangan lupa membaca doa sebelum membaca notes ini :D

***

beberapa hari yang lalu (lebih tepatnya berjam-jam bahkan berjuta-juta tahun yang lalu karena saya adalah makhluk primitip :D ), saya merasa bahwa saya bukanlah "saya". Saya tiba-tiba menjadi seseorang yang mudah emosian, ketakutan, tidak mampu berpikir logis, dan mudah marah. Saya kebingung kenapa hal tersebut dapat terjadi pada diri ini. Dalam kebingungan dan kegalauan tersebut, saya berusaha mencari sebuah jawaban tentang masalah tersebut (buset udah kayak lagu padi aja menanti sebuah jawaban tuk memilikimu… :D ). Pada akhirnya, saya bertemu dengan Romo RDS Ranoewidjojo, seorang penulis dan budayawan Jawa. Saya pun bertanya mengapa hal tersebut terjadi pada saya. Dalam pertemuan tersebut, kami mendiskusikan tentang sebuah analogi manusia dengan kereta kuda dalam filsafat Jawa. Hasil diskusi tersebut akhirnya memberikan pemahaman baru tentang diri saya sendiri dan manusia di dunia.

Dalam filsafat Jawa, manusia diibaratkan dengan sebuah kereta kuda berpenumpang dengan empat kuda. Tubuh manusia merupakan rangka kereta kuda; kuda-kuda merupakan penarik kereta kuda; kusir merupakan pengontrol pikiran dan pengarah para kuda; tali pelana antara kusir dan kuda sebagai emosi manusia; dan penumpang dari kereta kuda tersebut, yang merupakan jiwa yang ditiupkan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan di dunia. Setiap bagian dari kereta kuda tersebut merupakan bagian-bagian yang harus berjalan secara bersama sehingga kereta tersebut dapat berjalan sesuai “rel” yang menuju tujuan utama, yaitu menuju jalan kesempurnaan Manusia agar dapat kembali kepada Sang Pencipta atau pulang ke keraton Tuhan.

Kuda-kuda merupakan bagian awal dari kereta kuda tersebut.Kuda yang menarik kereta kuda tersebut terdapat empat buah. Kuda itu adalah kuda putih, kuda kuning, kuda merah, dan kuda hitam. Kuda putih dilambangkan sebagai kuda kebaikan. Setiap manusia diberikan amanah untuk berbuat kebaikan sebanyak mungkin di dunia ini. Kuda putih diibaratkan sebagai pengarah dan pemimpin kereta kuda karena kuda putih diibaratkan sebagai pengarah jalan dari kereta kuda tersebut. Kuda kuning diibaratkan dengan kuda keinginan atau hasrat. Manusia memiliki keinginan, hasrat, nafsu, dan segala macam yang berkaitan dengan keinginan, baik secara negatif maupun positif. Bentuk keinginan tersebut dapat berbentuk secara fisik (contoh : telepon genggam, televisi, dan sebagainya) dan secara non fisik (contoh : keinginan untuk dilindungi, berteman, dan berpacaran). Kuda merah melambangkan dengan kuda energi. Setiap manusia memiliki dan menggunakan energinya dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Contoh kuda merah adalah sewaktu seseorang melakukan suatu tindakan seperti semangat belajar, bekerja keras, bermalas-malasan, dan kecapean, mereka menggunakan tenaga mereka hingga kecapaian. Yang terakhir merupakan kuda hitam. Kuda hitam merupakan kuda yang paling berbahaya karena kuda hitam melambangkan egoisme manusia. Sifat-sifat dengki, benci, dan berpegang teguh pada prinsip seseorang merupakan contoh dari kuda hitam tersebut. Dalam ilmu cina, keempat kuda tersebut diibaratkan sebagai empat elemen yaitu api (kuda merah), angin (kuda putih), air (kuda kuning), dan tanah (kuda hitam).

Bagian kedua merupakan kusir. Kusir merupakan seseorang yang mengontrol arah berjalannya kereta kuda dan mengarahkan lambat atau cepatnya kereta kuda berjalan. Kusir tersebut pun terbagi menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tersebut merupakan input, processor, dan output, layaknya cpu yang terdapat pada komputer. Input yang terdapat pada kusir merupakan hasil interaksi antara manusia kepada lingkungan lewat panca indera. Input tersebut terdiri dari penglihatan, pendengaran, perasa, pengecap, dan penciuman. Hasil panca indera tersebut diproses oleh processor. Processor tersebut adalah akal dan pikiran manusia. Setiap manusia diberikan akal dan pikiran untuk mengolah data hasil panca indera tersebut. Proses yang terjadi pada kusir adalah data-data yang ter-input masuk dan mulai mengolah dengan prosessor dan melakukan tindakan (output), memori bekerja mengingat data-data yang di-input, proses pengolahan data-data dan kemungkinan yang muncul untuk merespon input tersebut, dan keputusan yang akhirnya dipilih sebagai output dalam tindakan. Berbagai macam data tersebut diolah dengan berbagai pemikiran-pemikiran yang muncul dalam berbagai situasi. Hasil dari pemikiran tersebut pun menghasilkan reaksi atau tindakan yang merupakan output pemikiran terhadap input.

Bagian ketikga merupakan tali pelana. Tali pelana merupakan emosi yang dimiliki oleh manusia. Setiap manusia pasti memiliki emosi, walaupun ada beberapa orang berkata bahwa mereka telah membuang emosinya. Emosi tersebut muncul sebagai konsekuensi terhadap ekspetasi (harapan) dengan reality (kenyataan). Dalam filsafat Jawa, Tali pelana kuda merupakan penghubung antara kusir dengan para kuda. Bentuk emosi yang muncul pun dapat berbagai macam yaitu marah, frustasi, depresi, bahagia, senang, tertawa, dan sebagainya.

Bagian paling penting merupakan sang penumpang dari kereta kuda tersebut. Penumpang kereta tersebut adalah jiwa manusia. jiwa manusia dianalogikan sebagai seorang penumpang yang ingin pergi menuju suatu tempa dan tempat tersebut adalah kembali kepada Tuhan. Oleh karena itu, sang penumpang tersebut mengetahui betul jalan untuk pulang, meskipun jalan pulang tersebut berliku dan bercabang.

Dalam pemahaman konteks di atas, manusia merupakan makhluk yang diberikan berbagai macam kelebihan oleh Tuhan, terutama akal, emosi, kesempurnaan fisik, dan pemikiran, dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Setiap manusia wajib mengontrol dan mengarahkan kereta kuda masing-masing demi menuju tempat tujuan masing-masing. Permasalahan yang muncul adalah apakah setiap manusia mampu mengontrol, menggerakkan, dan mengarah semua bagian kereta kuda tersebut secara sempurna? Lalu, apa definisi sempurna dalam pengontrolan kereta kuda tersebut?

Dalam pembicaraan antara saya dengan Romo, saya menangkap bahwa kesempunaan pengontrolan manusia adalah pengontrolan di mana semua bagian kereta kuda tersebut mengarah pada jalan saling mengasihi antar-manusia (jalan kebaikan). Namun, jalan yang mengarah kepada jalan kasih-sayang tersebut merupakan sesuatu yang cukup sulit karena setiap bagian kereta kuda tersebut memiliki keinginan, fungsi, dan maksud masing-masing. Kuda-kuda merupakan sesuatu yang berkaitan dengan penggerak suatu manusia. Penggerak manusia sendiri bila diibaratkan layaknya pedang bermata dua. Perasaan manusia dapat berkaitan dengan kebaikan (jujur, menghormati sesama, dan semacamnya) maupun keburukan (dengki, hasut, marah). Konteks kuda hanya sebagai penggerak manusia.

Kusir dilambangkan sebagai logika dan pikiran manusia. Manusia diberikan akal dan logika sebagai alat untuk berpikir dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Pikiran manusia tersebut digunakan sebagai pengarah, pengatur, dan pengambil kebijakan terhadap suatu masalah. Sayangnya, pikiran manusia pun juga tidak seratus persen benar dan membawa diri seorang manusia menuju jalan kasih sayang. Mengapa? Setiap manusia memiliki pengalaman hidup berbeda-beda. Pengalaman tersebut mereka dapatkan dari lingkungan tempat mereka tinggal. Pengalaman tersebut membentuk pola pikir dan logika seseorang menjadi relatif. Sebagai salah satu contoh, seorang pria kelaparan karena belum makan selama tujuh hari berturut-turut. Dia tinggal di kota besar sementara dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Tidak lama kemudian seseorang datang menawari dia makanan dan kehidupan kaya-raya asal sang pria kelaparan tersebut mau membunuh seseorang untuknya. Dalam batinnya, ia tidak mungkin membunuh orang lain karena sang pria kelaparan tersebut tidak ingin menyakiti orang lain, tapi di sisi lain dia harus makan karena jika tidak makan ia akan mati. Pada akhirnya, dia pun memilih untuk membunuh demi mendapatkan makanan. Setelah ia membunuh orang pertama, dia ditugaskan kembali untuk membunuh korban lain. Korbannya semakin bertambah dan bertambah yang pada akhirnya membuat sebuah pola pikir yang menegaskan bahwa “:jika saya tidak membunuh, saya tidak makan”. Contoh di atas merupakan salah satu contoh yang cukup lumrah dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penghubung antara kusir dan para kuda merupakan tali pelana. tali pelana merupakan alat pengontrol emosi setiap manusia ketika mereka mengalami seseuatu. Manusia menggunakan akal dan pikiran, yaitu kusir, dan empat bagian alam (mikrokosmos) yang terdapat pada manusia, yaitu para kuda. Manusia memiliki berbagai keinginan (kuda kuning). Ketika mereka menginginkan sesuatu, mereka pun mulai berusaha sekuat tenaga (kuda merah). Manusia ingin mendapatkan sesuatu tersebut dengan cara yang halal (kuda putih). Ketika manusia lain berkata bahwa sesuatu yang mereka inginkan atau mereka sedang dalam posisi tertekan, mereka bertekad untuk tetap mendapatkan hal tersebut (kuda hitam). Cara yang digunakan oleh manusia pun berbeda-beda untuk mendapatkan hal tersebut (kusir). Hasil pencapaian terhadap usaha tersebut menghasilkan emosi-emosi tertentu sebagai konsekuensi hasil pencapaian tersebut. Ketika seorang manusia tidak mampu mengontrol emosi mereka masing-masing, hal tersebut dapat berdampak buruk pada diri mereka bahkan dapat merugikan orang lain. Tindakan anak kecil yang merengek meminta sesuatu merupakan salah satu contoh kasus tentang tali pelana. Umumnya, anak kecil langsung meminta kepada orangtuanya ketika dia melihat sebuah benda yang menarik. Mereka akan berusaha berbagai cara untuk mendapatkan benda yang diinginkan seperti dengan cara menarik-narik orangtuanya, memukul-mukul orangtua, berteriak, atau mereka menangis keras. Tindakan-tindakan seperti menarik-narik, memukul-mukul, berteriak, atau mereka menangis merupakan emosi yang muncul sebagai konsekuensi pengharapan mereka bahwa mereka inginkan sesuatu namun kenyataannya, mereka belum mendapatkan apa yang diinginkan. Pengontrolan tali pelana yang baik menyebabkan kereta dapat berjalan terarah, teratur, dan tidak tersasar. Pengontrolan emosi dapat menjadikan seorang manusia mampu mengarahkan, mengatur, dan menerka bagaimana mereka menjalani kehidupan di dunia.

Lalu, bagaimana kita, yang dilambangkan sebagai kereta kuda, dapat mengantarkan sang penumpang? Bukannya sang penumpang kereta kuda kita (dalam filsafat Jawa disebut “Sang Pangeran”- red) mengetahui jalan untuk pergi ke tempat tujuan? Ya. Sang pangeran memang mengetahui jalan pulang. Namun, sekeras apapun sang pangeran berteriak pada kusir, jika kusir tidak mau mengikuti kata-kata sang pangeran, tidak mengendarai kereta kuda dengan tali pelana, dan kuda-kuda tidak mau bergerak, keberadaan sang pangeran hanyalah kehampaan belaka. Yang lebih parah lagi adalah ketika kuda-kuda tersebut bergerak secara asal-asalan atau tali pelana yang mudah putus sehingga kusir tidak mampu mengontrol para kuda, kereta kuda tersebut dapat rusak, bahkan hancur. Manusia pun dapat dianalogikan dengan kereta kuda tersebut. Jika seorang manusia tidak menggunakan dan menyeimbangkan antara perasaan dengan logika, jiwa manusia, yang diberikan untuk berkelana dan hidup di dunia, tersebut tidak dapat pergi ke surga dan bertemu Tuhan. Manusia hidup dan ada di dunia menjadi sebagai khalifah di dunia. Manusia pun diajarkan untuk hidup mengasihi dan hidup bertenggang rasa dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan sebagai “Tangan” kelanjutan dari Tuhan.

Sebagai kesimpulan, setiap manusia diharapkan mampu mengontrol “kereta kuda” masing-masing. Mereka wajib mengatur dan mengarahkan jalur kereta kuda masing-masing menuju arah tempat tujuan sehingga manusia dapat kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Jalan yang diharapkan, untuk diambil oleh manusia sebagai makhluk ciptaanNya, adalah jalan kasih-sayang. Dengan kasih sayang, manusia dapat hidup bahagia dan mampu mencapai tempat yang terbaik di sisiNya layaknya kereta kuda yang mampu mengantarkan sang pangeran kembali ke keraton.

***

Sekian dari saya, sebagai menuliskan notes yang super bego ini. Kurang lebihnya mohon maaf (kalau pas, jangan lupa tipnya :D ). Saya hanyalah seseorang yang ingin berbagi ilmu pada kawan-kawan sekalian (kalau sudah tahu, jangan lempar bata ya J . saya tidak :repost). Terima kasih untuk kawan-kawan yang mau membaca notes saya. Arigatou Gozaimasu (terima kasih banyak) :D.