“Hentikan! Kalian jangan bertengkar karena hal sepele seperti ini!” sahut Riko. “Diam kau Ko! Ini urusan antara aku dengan Adi! Atau kamu mau menjadi musuhku juga?” kata Dimas. “Bukan. Aku tidak mau kita bertengkar karena masalah seperti ini. Ini benar-benar tidak masuk akal. Kenapa kita harus bermusuhan padahal kita kan sudah seperti saudara sekandung? Kemana persaudaraan kita?” ucap Riko lagi. Tak lama kemudian, Dimas pun diam tanpa seribu bahasa. Riko dan Adi pun juga sama. Mereka bertiga berusaha merenungi apa yang terjadi pada mereka. Mereka seakan tidak percaya akan hal yang baru saja mereka lakukan. “Benar kata Riko. Mas, kita sudah terbawa emosi karena hal yang tidak kita duga. Bagaimana kalau kita memikirkan solusinya?” sahut Adi. Mereka akhirnya kembali lagi terdiam terpaku tanpa satu kata terucap dari mulut mereka. Mereka mulai berpikir bagaimana caranya untuk memecahkan permasalahan mereka.
“Mungkin untuk masalah ini, kita tidak akan menemukan jawabannya. Atau mungkin ada yah?” Tanya Riko. “Tidak! Hanya itu satu-satunya solusi yang dapat kita lakukan jika kita mau menyelesaikan masalah ini.” Tegas Dimas. “Akan tetapi seandainya kita melakukan keputusan itu, kita pasti akan dikucilkan oleh mereka! Sebaiknya kita diam saja. Kamu sadar hal itu kan mas?” sahut Adi. “Iya, iya! Aku paham maksudmu! Aku juga sadar dampaknya jika kita melakukan solusi itu. Lalu mau solusi apa lagi? Solusi yang kamu berikan itu akan berakhir sama saja. Kita akhirnya akan ketahuan juga.” Jawab Dimas.
Detik demi detik, menit demi menit telah mereka lalui. Mereka masih belum menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah mereka. “Sudah! Aku mau pulang saja! Percuma aku bicara pada kalian yang tidak mengerti maksudku.” ketus Dimas. “Dimas!” teriak Adi. “Jadi, kamu mau lepas tangan dalam masalah ini?” ledek Riko. “Rik! Sudah kubilang kamu jangan ikut campur masalah kami berdua. Lebih baik kamu tidak ikut campur dalam masalah ini.” Sahut Dimas. “Aku hanya ingin membantu kalian berdua saja kok. Apakah aku salah membantu kalian berdua?” Tanya Riko. “Boleh, tapi tidak untuk masalah ini.” Tegas Adi. Riko pun terdiam. “Ya sudah lah, kita pulang saja. Maafkan aku ya. Mungkin aku ikut campur dalam masalah kalian. Aku juga yakin kalian juga sudah bosan tentang masalah ini. Mari kita pulang untuk menyelesaikan masalah ini.” Kata Riko. “Ya, aku juga sudah capek. Dimas tadi juga berkata demikian. Sebaiknya sekarang kita pulang dan istirahat. Oke?” kata Adi. Akhirnya mereka pulang ke kosan mereka masing-masing.
Mungkin masalah ini berat bagi Adi, Dimas dan Riko. Mereka bertiga sudah tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Walau mereka sudah saling kenal dekat dan sering menyelesaikan masalah dengan mudah secara bersama, mereka masih tidak mengerti kenapa untuk masalah ini tidak dapat mereka selesaikan. Mereka seakan memiliki jalan pemikiran masing-masing. Adi yang terkenal dengan saran-saran bijak dalam menyelesaikan setiap masalah mereka kini menjadi seseorang yang bertindak emosional ; Dimas yang dikenal sebagai orang yang kalem berubah seperti orang yang sok kritis dalam permasalahan ini ; lebih mengherankan lagi, Riko yang biasanya tidak ingin ikut campur dan ikut-ikutan saja dalam setiap keputusan malah menjadi penengah dalam masalah ini. Ia seakan tidak ingin ikut campur namun ia tetap ingin memberikan saran yang terbaik untuk masalah ini. Bagi mereka bertiga hal ini merupakan suatu hal yang aneh. Bahkan hanya karena permasalahan ini hingga membuat mereka seolah menjadi diri mereka yang lain.
Semua berawal sekitar tiga bulan yang lalu, pada saat akan diadakan pemilihan raya di kampus mereka. Saat itu, Dimas mengajak Adi untuk menjadi pendampingnya dalam pencalonan dirinya menjadi ketua senat kampus mereka. Dimas juga mengajak Riko sebagai pemimpin tim sukses dalam acara pemilihan raya tersebut. Pada awalnya, Adi dan Riko sedikit tidak percaya dengan keputusan Dimas untuk menjadi ketua senat kampus. “Mas, kamu yakin mau menjadi ketua senat? Aku merasa masih ada yang lebih kompeten dibanding kamu sebenarnya. Selain itu, kamu juga tidak memiliki ilmu dasar-dasar organisasi karena kamu tidak pernah mengikuti pelatihan organisasi. Kamu masih yakin nih?” Tanya Adi. “Iya, aku mau maju menjadi ketua senat kampus kita. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa memimpin kampus ini dan membawa kampus ini ke arah yang lebih baik lagi” jawab Dimas. “Ah aku tidak yakin dengan kau Mas” ledek Riko. “Eh Ko, jangan remehkan aku dong. Aku yakin bisa kok memimpin senat kampus kita” sahut Dimas. “Mas…Dimas, lo aja nggak bisa mengatur diri sendiri. Bagaimana mau mengatur orang lain?” Tanya Riko. “Benar Mas, jika kamu tetap melakukan hal ini, kamu hanya membuat kampus menderita. Lebih baik urungkan niatmu untuk menjadi ketua senat. Selain itu, sebaiknya kamu mencari pasangan pendamping yang lain karena aku merasa bahwa aku tidak pantas menduduki jabatan tersebut. Terlalu berat bagiku untuk mempertanggung-jawabkan apa yang telah kulakukan dalam kepengurusan itu kelak.” Kata Adi. “Oke…Oke… Akan tetapi, kalian harus menjadi anggota inti tim suksesku yah! Aku tidak ingin kehilangan kalian. Aku ingin menempatkan kalian sebagai orang kepercayaanku.” Pinta Dimas. Adi dan Riko setuju dengan apa yang diminta oleh Dimas. Mereka akan berusaha membantu membuat Dimas menjadi ketua senat.
Ternyata, menjadi ketua senat di kampus mereka tidaklah seperti mereka membalik telapak tangan.
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar